Kisah Ciung Wanara (Jawa Barat)

Alkisah pada zaman dahulu, di sebuah daerah di Jawa Barat berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Galuh.

Kerajaan Galuh di pimpin oleh seorang raja bijaksana bernama Raja Prabu Permana Di Kusumah.

Raja memiliki dua orang permaisuri, yang pertama bernama Nyimas Dewi Naganingrum dan yang kedua bernama Nyimas Dewi Pangrenyep.

Telah lama sang raja mengurus kerajaan, akhirnya sang Raja memutuskan untuk menjadi seorang pertapa.

Untuk mengurus Kerajaan Galuh, Raja Prabu memilih untuk menunjuk menterinya yang bernama Aria Kebonan.

Dengan kemampuan supranatural yang dimilikinya, Raja Prabu mengetahui bahwa menterinya yang bernama Aria Kebonan ingin menjadi seorang raja.

Oleh karena itu ia pun memanggil menteri Aria Kebonan menghadap.

“Aria Kebonan kemarilah, Aku ingin berbicara kepadamu,” kata raja.

“Baik, Yang Mulia,” kata Aria Kebonan.

“Dengar Aria Kebonan, Aku akan mengangkatmu menjadi raja Galuh selama Aku pergi untuk bermeditasi, dengan syarat engkau akan memerintah kerajaan dengan benar dan juga engkau harus menjaga kedua istriku dengan baik.”

“Engkau hanya harus berpura-pura di depan rakyat bahwa Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum adalah istrimu,” kata Raja Prabu.

“Baiklah, Yang Mulia,” Aria Kebonan menyanggupi.

“Aku akan mengubah penampilanmu menjadi seorang pria tampan. Namamu adalah Prabu Barma Wijaya. Beritahulah pada orang-orang bahwa raja telah menjadi lebih muda dan aku sendiri akan pergi ke suatu tempat rahasia, dengan demikian engkau akan menjadi raja!” kata Raja Prabu.

Raja yang baru, Prabu Barma Wijaya alias Aria Kebonan, kemudian mengumumkan bahwa dirinya adalah Prabu Permana Di Kusumah yang telah berubah menjadi lebih muda sepuluh tahun.

Ia juga kemudian mengumumkan pergantian namanya dari Prabu Permana Di Kusumah menjadi Prabu Barma Wijaya.

Penghuni istana dan rakyat Kerajaan Galuh mempercayai pengumuman tersebut kecuali Uwa Batara Lengser yang mengetahui perjanjian antara raja dan Menteri Aria Kebonan.

Setelah diangkat menjadi raja, Prabu Barma Wijaya menjadi sombong dan memerintah kerajaan secara sewenang-wenang.

Ia juga sering mengejek Uwa Batara lengser yang tidak dapat melakukan apa-apa.

Dia juga memperlakukan kedua ratu dengan kasar.

Kedua permaisuri selalu berusaha untuk menghindarinya, kecuali di depan umum ketika mereka berperilaku seolah-olah mereka istri Prabu Barma Wijaya.

Di suatu malam kedua permaisuri bermimpi bahwa bulan jatuh di atas mereka.

Kedua permaisuri kemudian melaporkan mimpi mereka kepada raja.

Prabu Barma Wijaya merasa ketakutan, karena mimpi tersebut biasanya peringatan bagi wanita yang akan hamil.

Hal ini tidak mungkin terjadi karena ia tidak pernah memperlakukan kedua permaisuri sebagai istri-istrinya.

Uwa Batara Lengser yang diberi tahu masalah ini kemudian mengusulkan untuk meminta bantuan seorang pertapa bernama Ajar Sukaresi untuk menjelaskan mimpi yang aneh tersebut.

“Uwa Batara Lengser, Aku ingin meminta nasihat kepadamu mengenai masalahku. Kedua permaisuri bermimpi bahwa bulan jatuh di atas mereka. Ini adalah pertanda bahwa mereka berdua akan hamil. Padahal Aku tidak pernah menyentuh mereka. Sekarang apa yang harus Aku lakukan Uwa Batara?” tanya Prabu Barma Wijaya.

“Begini saja Baginda Raja. Bagaimana kalau kita meminta bantuan seorang pertapa sakti untuk menjelaskan mimpi aneh tersebut. Pertapa sakti itu bernama Ajar Sukaresi,” kata Uwa Batara.

“Baik. Panggillah si pertapa ke istana,” kata Prabu Barma Wijaya setuju.

Uwa Batara Lengser kemudian mendatangi kediaman si pertapa sakti untuk mengundangnya ke istana.

Sebenarnya pertapa tersebut tidak lain adalah Raja Prabu Permana Di Kusumah.

Begitu si pertapa tiba di istana, Prabu Barma Wijaya langsung bertanya tentang arti mimpi itu.

“Yang Mulia, kedua permaisuri akan mendapatkann seorang anak,” jawab pertapa Ajar Sukaresi.

Prabu Barma Wijaya sangat marah mendengar hal tersebut karena selama ini ia tidak pernah menyentuh kedua permasuri.

Ia kemudian bertanya, “Apakah anak mereka berjenis kelamin perempuan atau laki-laki?”

“Keduanya anak laki-laki, Yang Mulia,” jawa pertapa Ajar Sukaresi.

Mendengar jawaban tersebut Prabu Barma Wijaya sangat marah.

Ia mengambil kerisnya dan menusuk Ajar Sukaresi.

Namun aneh, keris itu bengkok.

“Kenapa Raja berusaha membunuh hamba? Apakah Raja ingin aku mati? Baiklah, aku akan mati.” Kemudian pertapa itu jatuh ke tanah dan mati.

Prabu Barma Wijaya kemudian menendang mayatnya begitu keras sehingga terlempar ke dalam hutan.

Di dalam hutan, tubuh pertapa Ajar Sukaresi berubah menjadi seekor naga besar, bernama Nagawiru.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut, kedua permaisuri hamil.

Sembilan bulan kemudian Dewi Pangrenyep melahirkan seorang putra yang ia beri nama Hariang Banga.

Suatu hari ketika Prabu Barma Wijaya mengunjungi Dewi Naganingrum yang tengah hamil besar, secara ajaib janin dalam kandungan Naganingrum yang belum lahir tersebut berbicara: “Hai Barma Wijaya, Engkau telah melupakan banyak janjimu. Semakin banyak Engkau melakukan hal-hal kejam, kekuasaanmu akan semakin pendek.”

Raja sangat marah sekaligus takut terhadap ancaman janin tersebut.

Dia ingin menyingkirkan Dewi Naganingrum beserta bayinya dengan meminta bantuan Dewi Pangrenyep.

“Dewi Pangrenyep, bantu aku menyingkirkan Dewi Naganingrum beserta bayinya,” kata Prabu Barma Wijaya.

“Baik Prabu. Saya akan membantu,” kata Dewi Pangrenyep. Ia mau membantu karena tidak ingin tahta kerajaan jatuh ke tangan anak Dewi Naganingrum.

Tidak lama kemudian Permaisuri Dewi Naganingrum pun akan segera melahirkan.

Dewi Pangrenyep bergegas untuk membantunya.

Akhirnya, Dewi Naganingrum melahirkan seorang bayi laki-laki yang tidak kalah lucu dan tampan dari kakaknya Hariangbanga.

Tanpa sepengetahuan siapapun, bayi laki-laki yang baru saja di lahirkan Dewi Naganingrum di tukarnya dengan seekor anak anjing.

Bayi yang sebenarnya di masukkan ke dalam sebuah keranjang.

Dewi Pangrenyep pun meletakkan sebutir telur ayam.

Ia kemudian menghanyutkan bayi tersebut ke sebuah sungai.

Prabu Barma Wijaya berpura-pura kaget mengetahui bahwa Dewi Naganingrum melahirkan seekor anak anjing.

Ia kemudian memerintahkan hukuman mati atas Dewi Naganingrum karena dia telah melahirkan seekor anak anjing, yang dianggap sebagai kutukan dari para Dewa.

Uwa Batara lengser yang mendapat perintah untuk melaksanakan eksekusi tersebut tidak mampu menolaknya.

Dia membawa Dewi Naganingrum yang malang ke hutan, namun dia tak sampai hati membunuhnya, ia bahkan membangunkan sebuah gubuk yang bagus untuknya.

Setelah gubug itu selesai di buatnya, dengan terpaksa Ki Lengser meninggalkan Naganingrum seorang diri.

Sebelum ia pergi, ia pun berjanji akan mengunjunginya.

“Maaf Gusti, Hamba mendapat perintah untuk membunuh Gusti. Hanya inilah yang mampu hamba lakukan untuk melindungi Gusti. Sekarang Gusti tinggallah di rumah sederhana ini. Hamba berjanji akan mengunjungi Gusti.” kata Uwa Batara Lengser.

Kemudian ia kembali ke istana.

Tinggal di sebuah gubug kecil di tengah hutan seorang diri, Naganingrum sangat berharap suatu hari nanti ia dapat bertemu dengan putra kandungnya.

Naganingrum sangat yakin bahwa ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat lucu, bukan anak anjing.

Ia pun berharap dapat kembali ke Istana dan hidup bahagia bersama keluarganya.

Ki Lengser pun segera kembali ke istana.

Ia langsung mengahadap raja dan melaporkan bahwa tugasnya untuk membunuh Dewi Naganingrum sudah di laksanakan dengan baik.

Untuk membuktikan bahwa ia sudah melaksanakan tugasnya, ia membasahi senjatanya dengan darah binatang buruan yang ia temui di dalam hutan.

Di Desa Geger Sunten, tepian Sungai Citanduy, hiduplah sepasang suami istri tua yang biasa memasang bubu keramba perangkap ikan yang terbuat dari bambu di sungai untuk menangkap ikan.

Suatu pagi mereka pergi ke sungai untuk mengambil ikan yang terperangkap di dalam bubu, dan sangat terkejut karena menemukan keranjang yang tersangkut pada bubu tersebut.

Setelah membukanya, mereka menemukan bayi yang menggemaskan.

“Aduhai bayi siapa ini? Sangat tampan dan lucu. Kalau dilihat dari pakaiannya, bayi ini berasal dari lingkungan istana kerajaan.”

Mereka kemudian membawa pulang bayi tersebut, merawatnya dan menyayanginya seperti anak mereka sendiri.

Sambil membesarkan bayi malang tersebut, Aki dan Nini terus berusaha mencari informasi mengenai siapa orang tua bayi tersebut.

Mereka pun mendengar kabar mengenai kelahiran putra Dewi Naganingrum.

Akhirnya mereka mengambil kesimpulan bahwa bayi tersebut adalah putra raja dari Kerajaan Galuh.

Tanpa terasa, bayi laki-laki yang mereka temukan sekarang telah tumbuh menjadi seorang remaja tampan, cerdas, gagah dan pemberani.

Anak tersebut di beri nama Ciung Wanara.

Mereka memberikan nama Ciung Wanara karena mereka pernah melihat seekor monyet yang berarti wanara.

Mereka pun pernah melihat seekor Burung yang berarti Ciung.

Akhirnya keduanya sepakat nama dari ke dua binatang tersebut digabung menjadi nama anaknya.

Suatu hari Ciung Wanara ingin sekali pergi ke ibukota Kerajaan Galuh untuk mengembara.

Awalnya, Aki dan Nini tidak mengizinkan.

Namun akhirnya tidak bisa melarang karena Ciung terus memaksa.

“Ayah, Ibu, Ciung bahagia tinggal di hutan ini, tetapi Ciung ingin sekali merantau ke ibukota Kerajaan Galuh,” kata Ciung.

“Ayah dan ibu sangat mencintaimu, Nak. Jika itu memang keinginanmu, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang. Ayah berharap Ciung bisa menemukan kedua orang tua kandungmu,” kata ayahnya.

“Memangnya siapa orang tua kandung Ciung, Ayah?” tanya Ciung penasaran. Sebelum ia berangkat ke ibukota Kerajaan Galuh, ia bertanya siapa ayah dan ibu kandungnya.

“Ayahmu adalah raja Kerajaan Galuh, sedangkan ibumu diasingkan di tengah hutan. Pergilah ke ibukota Kerajaan Galuh untuk mencari orang tuamu,” kata Aki.

Aki menjelaskan bahwa ayah kandungnya adalah seorang raja dari Kerajaan Galuh.

Dan Ibunya di asingkan di dalam hutan belantara.

“Baik Ayah dan Ibu. Ciung mohon pamit. Ciung tetap menganggap Ayah dan Ibu sebagai orang tua Ciung.”

Mendengar penjelasan tersebut, Ciung Wanara segera berangkat ke ibukota Kerajaan Galuh dengan membawa ayam jantan kesayangannya.

Setibanya di Kerajaan Galuh ia bertemu dengan dua orang patih yang bernama Purawesi dan Puragading.

Kedua patih tersebut tertarik dengan Ciung Wanara, karena ia membawa seekor ayam jantan.

Kedua patih tersebut menghampiri dan mengajaknya untuk adu ayam.

Ciung Wanara menerima tantangan dari kedua patih tersebut.

Pertandingan sabung ayam di lakukan di tengah alun-alun Kota Galuh.

Nasib baik berpihak kepada Ciung Wanara. Ayam jantan kesayangannya menang dalam pertandingan.

Kemenangan Ciung Wanara tersebut langsung tersebar ke seluruh kerajaan.

Kemenangan itu terdengar oleh  raja, bahwa ada seorang pemuda tampan memiliki seekor ayam jantan yang sangat tangguh.

Di Ibukota Galuh, sabung ayam adalah sebuah acara olahraga besar, baik raja maupun rakyat sangat  menyukainya.

Raja Barma Wijaya memiliki seekor ayam jago besar bernama Si Jeling.

Raja menyatakan bahwa ia akan mengabulkan keinginan apapun kepada pemilik ayam yang bisa mengalahkan ayam juaranya.

Ciung Wanara datang ke istana untuk bertemu dengan raja.

Baginda segera memerintahkan para pengawal agar Ciung Wanara dibawa menghadap.

Setelah berhadapan dengan sang raja, Ciung Wanara pun menyembah.

“Hai Anak Muda! Siapa namamu dan dari mana asalmu?”

“Nama hamba Ciung Wanara, putra dari Aki dan Nini Balangantrang dari Desa Geger Sunten,” jawab Ciung Wanara dengan lantang.

“Apa maksud kedatanganmu kemari?”

“Yang Mulia, Hamba mempunyai seekor ayam yang aneh. Induknya mengandung selama setahun. Sarangnya sebuah kandaga. Lebih aneh lagi, sebelum menetas, telur ini pernah hanyut di sungai,” kata Ciung Wanara.

Raja teringat pada Naganingrum yang mengandung selama setahun.

Sedangkan Dewi Pangrenyep sudah mengira, bahwa yang sekarang berada di hadapannya adalah putra dari Naganingrum.

Kedatangannya hendak membalas dendam.

“Kau berniat mengadu ayam dengan ayam milikku? Apa taruhannya?” tanya Raja Galuh.

“Jika ayam hamba yang kalah, hamba bersedia menyerahkan nyawa hamba. Tapi sebaliknya, jika ayam baginda yang kalah, maka hamba mohon diberi separuh Kerajaan Galuh.” kata Ciung.

Karena raja Galuh merasa yakin, bahwa ayam jagonya akan menang, taruhan Ciung Wanara disetujui.

Baginda segera membawa ayamnya ke halaman dan diikuti oleh Ciung Wanara.

Pertandingan sabung Ayam pun berlangsung dengan seru.

Awalnya, Ayam jantan milik Ciung Wanara terlihat kewalahan namun, tiba-tiba ayam tersebut kembali segar dan kuat kembali.

Akhirnya, dengan mudah ayam milik sang raja kalah terdesak. Ciung Wanara memenangkan pertandingan sabung ayam.

Sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui, Ciung Wanara mendapat negara sebelah barat. Sedangkan sebelah timur oleh baginda diserahkan kepada Hariang banga. Masing-masing bergelar Prabu.

Setelah menjadi raja, Uwa Batara Lengser mengatakan pada Ciung Wanara bahwa Prabu Barma Wijaya telah memerintahkan untuk menghanyutkan dirinya saat bayi dan menuduh ibunya telah melahirkan seekor anjing.

Akhirnya, semua rahasia tentang Ciung Wanara terungkap dan segala kejahatan yang dilakukan Prabu Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep terbongkar.

Ki Lengser pun menceritakan bahwa ibu kandungnya masih hidup dan di asingkan di sebuah hutan.

Ciung Wanara sangat bahagia dan segera menjemput ibunya, ia pun menjemput kedua orang tua angkatnya.

Prabu Ciung Wanara setelah tahu apa yang telah dilakukan oleh Prabu Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep terhadap ibunda dan dirinya sendiri, segera membentuk pasukan khusus untuk menangkap Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep.

Tanpa menemui kesulitan yang berarti keduanya berhasil ditangkap dan di jebloskan kedalam penjara istana.

Hariang banga sangat kaget mengetahui ibundanya tercinta telah ditangkap oleh tentara Prabu Ciung Wanara dan dijebloskan ke dalam penjara.

Ia menyusun rencana perlawanan, mengumpulkan banyak tentara dan memimpin perang melawan adiknya.

Dalam pertempuran, ia menyerang Ciung Wanara dan para pengikutnya.

Ciung Wanara dan Hariang Banga adalah raja yang kuat dan berkeahlian tinggi dalam seni bela diri pencak silat.

Namun Ciung Wanara berhasil mendorong Hariang Banga ke tepian Sungai Brebes.

Pertempuran terus berlangsung tanpa ada yang menang atau kalah.

Tiba-tiba muncullah Raja Prabu Permana Di Kusumah didampingi oleh Ratu Dewi Naganingrum dan Uwa Batara lengser.

“Hariang Banga dan Ciung Wanara! Hentikan pertempuran ini! Pamali berperang melawan saudara sendiri. Kalian adalah saudara, kalian berdua adalah anak-anakku yang akan memerintah di negeri ini, Ciung Wanara di Galuh dan Hariang Banga di timur sungai Brebes, kerajaan baru. Sungai ini menjadi batas kedua kerajaan. Aku mengubah namanya dari Sungai Brebes menjadi Sungai Pamali untuk mengingatkan kalian berdua bahwa adalah pamali saling memerangi saudara sendiri. Biarlah Dewi Pangrenyep dan Barma Wijaya dipenjara karena dosa mereka.”

Sejak itu nama sungai Brebes dikenal sebagai Cipamali (Bahasa Sunda) atau Kali Pemali (Bahasa Jawa) yang berarti “Sungai Pamali”.

Hariang Banga selanjutnya pindah ke timur.

Ia kemudian dikenal dengan nama Jaka Susuruh. Dia mendirikan kerajaan Jawa dan menjadi raja Jawa, dan pengikutnya yang setia menjadi nenek moyang orang Jawa.

Ciung Wanara memerintah Kerajaan Galuh dengan adil, rakyatnya adalah orang Sunda.

Saat kembali menuju ke barat, Ciung Wanara menyanyikan perang saudara ini dalam bentuk pantun Sunda, sementara kakaknya, Harian Banga, menuju ke timur dengan menyanyikan perang saudara ini dalam bentuk tembang.