Nai Manggale (Si Gale-Gale) (Sumatera Utara)

Alkisah dahulu kala di Sumatera Utara, hidup seorang pembuat patung bernama Datu Panggana.

Ia dikenal sebagai seorang pematung handal.

Hasil patung buatannya sangat halus juga nampak sangat mirip aslinya.

Seperti patung hewan, tumbuhan maupun patung berbentuk manusia, hasilnya pasti akan sangat mirip aslinya.

Nama Datu Panggana menjadi sangat terkenal sehingga banyak penduduk memesan patung kepadanya.

Menurut legenda, di suatu hari, Datu Panggana pergi ke hutan, mencari kayu untuk ia gunakan membuat patung.

Setelah mendapat kayu sesuai keinginannya, Datu Panggana kemudian pulang ke rumahnya.

Kemudian Ia mulai bekerja membuat patung berbentuk perempuan.

Datu Panggana bekerja siang malam membuat patung tersebut tanpa melihat model.

Dalam bekerja Ia hanya membayangkan sesosok perempuan cantik.

Semua perhatiannya dicurahkan pada patung tersebut, hingga akhirnya selesai juga patung tersebut, sebuah patung berbentuk seorang perempuan sangat cantik wajahnya.

Datu Panggana pun sangat terkejut dengan kecantikan patung buatannya.

Saat itu lewatlah seorang laki-laki di depan rumah Datu Panggana.

Laki-laki tersebut bernama Bao Partigatiga.

Ketika melihat patung perempuan cantik, Bao Partigatiga sangat terkejut melihat kecantikannya.

Ia pun memuji keahlian Datu Panggana.

Kebetulan Bao Partigatiga membawa pakaian serta perhiasan perempuan.

Ia kemudian memakaikan pakaian serta perhiasan yang ia bawa pada patung perempuan tersebut.

Nampak semakin cantiklah juga semakin menyerupai manusia patung tersebut setelah didandani oleh Bao Partigatiga.

Datu Panggana dan Bao Partigatiga memandangi patung tersebut dengan takjub.

Setelah puas mamandangi patung tersebut, Bao Partigatiga kemudian berusaha melepaskan pakaian dan perhiasan miliknya dari patung tersebut.

Keanehan pun terjadi, Bao partigatiga tidak mampu melepaskannya.

Seolah-olah patung tersebut menolaknya.

Bao Partigatiga pun marah pada Datu Panggana.

Ia meminta Datu Panggana untuk menghancurkan patung tersebut agar Ia bisa melepaskan pakaian dan perhiasan miliknya.

“Hai Datu Panggana! Aku tak bisa mengambil perhiasan milikku. Cepat Kau hancurkan patungmu buatanmu! Aku mau pulang sekarang.” kata Bao Partigatiga marah.

“Enak saja Kau suruh Aku hancurkan patung milikku. Salahmu sendiri! Siapa menyuruh Engkau kenakan pakaian dan perhiasan milikmu.” jawab Datu Panggana.

Mereka berdua bertengkar hebat karena masalah tersebut.

Untuk menghindari perkelahian, Bao Partigatiga akhirnya pergi meninggalkan tempat tersebut.

Ia meninggalkan pakaian juga perhiasan miliknya menempel pada patung milik Datu Panggana.

Sepeninggal Bao Partigatiga, Datu Panggana kemudian berusaha membawa patung perempuan cantik itu ke dalam rumahnya.

Lagi-lagi keanehan terjadi, Datu Panggana tidak mampu memindahkan patung buatannya tersebut ke dalam rumah.

Karena kesal, Ia akhirnya meninggalkan patung tersebut di luar rumah.

Seorang laki-laki bernama Datu Partoar lewat di depan patung perempuan cantik tersebut.

Sama seperti Bao Partigatiga, Ia sangat takjub melihat kecantikannya.

Ia kemudian berdoa kepada Dewata agar mengubah patung perempuan tersebut menjadi seorang manusia.

Sang Dewata mengabulkan permohonan Datu Partoar, dalam sekejap patung perempuan cantik tersebut menjelma menjadi seorang wanita cantik jelita.

Datu Partoar gembira.

Ia kemudian mengajak gadis perempuan cantik jelmaan patung untuk ikut ke rumahnya.

Gadis itu pun bersedia.

Sesampainya di rumah, istri Datu Partoar sangat gembira menyambut kedatangan gadis cantik tersebut.

Ia kemudian memberinya nama Nai Manggale.

“Karena Engkau belum memiliki nama, Engkau kuberi nama Nai Manggale.”

Nai Manggale senang diterima hangat oleh keluarga Datu Partoar.

Ia kemudian menceritakan bahwa dirinya adalah seorang patung yang ditakdirkan oleh Dewata menjelma menjadi manusia karena doa Datu Partoar.

Sejak saat itu Nai Manggale tinggal bersama keluarga Datu Partoar.

Nai Manggale telah dianggap sebagai anak oleh mereka.

Berita tentang sebuah patung menjelma menjadi seorang gadis cantik bernama Nai Manggale akhirnya terdengar di telinga Datu Panggana.

Ia pun bergegas menuju rumah Datu Partoar.

Terperanjatlah Ia saat mengetahui sosok Nai Manggale ternyata adalah patung buatannya dulu.

“Nai Manggale harus ikut denganku karena sebelum menjadi manusia ia adalah sebuah patung buatanku.” kata Datu Panggana kepada Datu Partoar.

“Tak bisa begitu! Memang benar Ia adalah patung buatanmu, tapi aku menemukannya tersia-sia diluar rumah. Aku juga yang berdoa pada Sang Dewata agar patung buatanmu menjadi manusia. Jadi sudah sepantasnya Nai Manggale tinggal bersamaku.” kata Datu Partoar.

Pertengkaran diantaranya keduanya semakin runcing dengan munculnya Bao Partigatiga.

“Pakaian dan perhiasan yang dikenakan Nai Manggale adalah kepunyaanku. Jadi Nai Manggale seharusnya tinggal bersamaku.” kata Bao Partigatiga.

Perselisihan diantara ketiganya semakin lama semakin memanas.

Masing-masing tidak ada yang mau mengalah.

Ketiganya merasa berhak memiliki Nai Manggale dengan alasan masing-masing.

Karena tidak ada jalan keluar, ketiganya lantas sepakat mengadukan masalah tersebut kepada Aji Bahir, sesepuh desa mereka.

Aji Bahir terkenal sebagai sosok cerdik bijaksana.

Ia dikenal mampu memberikan jalan penyelesaian bagi orang-orang yang tengah bertikai.

Saran dan pendapatnya dapat diterima orang-orang yang mengadu kepadanya.

Setelah mendengarkan dengan seksama penjelasan dari ketiganya, Aji Bahir kemudian memberikan saran.

“Karena Datu Partoar memohon kepada Sang Dewa hingga akhirnya Nai Manggale menjelma menjadi seorang manusia, maka Datu Partoar layak menjadi ayah bagi Nai Manggale.” kata Aji Bahir.

“Datu Panggana adalah pembuat patung Nai Manggale sebelum menjadi manusia, maka Ia berhak menjadi paman Nai Manggale. Kata Aji Bahir kepada mereka bertiga.

“Sedangkan Bao Partigatiga, usianya masih muda. Ia pantas menjadi kakak Nai Manggale.” kata Aji Bahir lagi.

Ketiganya kemudian menganggukan kepalanya sebagai tanda setuju.

Ketiganya menjadi lega karena masalah mereka telah selesai.

Mereka juga merasa bahagia karena bisa bersaudara dengan kehadiran Nai Manggale.

Kini Nai Manggale yang kecantikannya terkenal diantara suku-suku Tapanuli, hidup berbahagia bersama kedua orang tuanya, pamannya dan juga kakaknya.

Kecantikan Nai Manggale tersebar hingga ke desa tetangga.

Seorang pemuda bernama Datu Partitik memberanikan diri mendatangi Datu Partoar untuk melamar Nai Manggale.

Namun lamaran tersebut ditolak oleh Nai Manggale karena Datu Partitik amat buruk rupa.

Tidak putus asa, Datu Partitik lantas menggunakan ilmu sihir agar Nai Manggale menyukainya.

Saat mencoba melamar untuk kedua kalinya, lamaran Datu Partitik diterima oleh Nai Manggale.

Merekapun akhirnya menikah dengan upacara meriah.

Tapi sayang kebahagian tersebut tidak berlangsung lama.

Setelah menikah Nai Manggale merasa banyak musibah menimpanya.

Ia juga tak kunjung dikaruniai seorang anak.

Ia merasa mungkin Dewata tidak memberinya keturunan karena ia sendiri berasal dari sebuah patung.

Karena merasa sedih Nai Manggale terkena sakit keras berkepanjangan.

Tidak ada satu tabib pun yang mampu mengobati penyakitnya.

Merasa hidupnya tidak akan lama lagi, Nai Manggale lantas berpesan kepada suaminya agar membuatkan sebuah patung mirip dirinya agar menjadi kenangan bagi orang-orang yang selama ini mencintainya.

Tidak lama kemudian Nai Manggale pun meninggal dunia.

Sepeninggal istrinya, Datu Partitik kemudian meminta Datu Panggana untuk membuatkan patung sesuai permintaan mendiang istrinya.

Patung tersebut diberi nama Si Gale-Gale.

Semenjak saat itu patung Si Gale-Gale akan dibuat untuk mengenang orang yang meninggal dunia tanpa memiliki keturunan.