Sang Mustahil (Dongeng Irak)
Pengembaraan suci tengah dilakukan sang Abu Nawas bersama seorang Pendeta dan ahli yoga yang sudah berlangsung berhari-hari lamanya yang telah mereka lalui bertiga.
Ketiga orang hebat ini sedang mencari ketenangan diri mereka masing-masing menyelami arti dari sebuah kehidupan dialam terbuka yang penuh dengan ketenangan jauh dari hirup-pikuk kehidupan manusia dengan rutinitasnya sehari-harinya.
Namun sebernarnya sang Abu Nawas saat ini sedang diperlukan pemikirannya oleh Baginda Raja yang berkuasa saat itu yang bernama Harun Al Rasyid, beliau berencana ingin membangun istana diatas awang-awang.
Sebagian Raja-Raja tetangga Kerajaan telah mempunyai bangunan yang sungguh bagus-bagus dan megah-megah, sementara dirinya ingin membangun bangunan yang lain dari pada yang lainnya yaitu istana di atas langit, biar namanya terkenal dan lebih unik serta keren habis.
Terang saja utusan Kerajaan telah datang kerumah Abu Nawas untuk menyampaikan undangan khusus dari sang Baginda Raja yang mulia, namun sesampai di rumahnya hanya disambut oleh sang istri dari tokoh paling populer saat itu.
“Suamiku sedang pergi tidak ada di rumah, dia pergi mengembara menjauh dari keramaian dunia mencari ketenangan dan kedamaian hidup bersama dua orang sahabat dekatnya yaitu pendeta dan ahli yoga dalam waktu yang tidak bisa ditentukan,” berkata sang istri Abu Nawas.
Sang utusan Raja dengan segera berlalu dari tempat kediaman Abu Nawas untuk melaporkan berita bahwa Abu Nawas sedang mengembara menunaikan tugas suci.
Mendengar laporan tersebut Raja segera memerintahkan beberapa utusan untuk mencari Abu Nawas keberbagai penjuru negeri. Para utusan segera saja menyebar mencari Abu Nawas, namun yang dicari tidak dapat ditemukan karena sang empu yang sedang dicari lagi asyik-asyik saja berada dirumah berserta sang istri tercinta.
Ketika utusan Raja datang kerumahnya, Abu Nawas baru saja tiba dari belakang rumahnya dan tentu saja dia tidak bertemu sang utusan Raja tersebut.
Sang istri pun telah menyampaikan perihal utusan Raja yang datang khusus mengundangnya, namun Abu Nawas yang baru saja datang dari mengembara masih mau beristrirahat dulu melepas lelah bersama sang istri tercinta yang telah lama ditinggalkan pergi selama ini.
“Baiklah istriku, aku hanya ingin beristirahat dulu beberapa hari ini di rumah bersamamu sebelum menemui sang Raja di istana Kerajaan ,” berkata sang suami Abu Nawas kepada istrinya.
“Tentu saja engkau harus istirahat dulu selang beberapa hari suamiku, kitakan sudah beberapa minggu tidak bertemu aku sangat kangen sekali kepadamu,” sambil tersenyum istrinya menyahuti perkataan Abu Nawas suaminya.
Hari yang telah ditentukan sang Abu Nawas pun menghadap Raja di istana Kerajaan, Banginda tentu saja sangat senang menyambut kedatangannya, karena rasa gembiraannya sang Raja memulai pertemuan dengan canda gurauannya.
Dan mereka berdua layaknya dua orang sahabat lama saling tukar menukar pengalaman lucu yang pernah masing-masing meraka alami semasa umur mereka masih pada muda belia.
Sampai pada suatu saat sang Raja Harun Al Rasyid berkata pada pokok permasalahan yang selama ini mengganjal benaknya, dia meminta pertolongan khusus kepada Abu Nawas yang tidak pernah kehilangan akal dalam cara berpikir.
“Aku punya cita-cita yang mungkin kurang masuk diakal namun aku meminta pendapatmu tentang hal masalah ini, Abu Nawas?” seru sang Raja.
“Hamba kurang mengerti maksud yang Baginda utarakan tadi?” Abu Nawas balik bertanya.
“Begini, apakah mungkin aku membagun sebuah istana megah di awang-awang yang menggantung di langit biru, sebab Raja-Raja yang lain telah mempunyai istana yang megah namun tidak unik, aku ingin mereka mengenalku dengan istana megah dan unik seperti cita-citaku tersebut,” katanya lagi.
“Kenapa tidak mungkin Tuanku Raja, di dunia ini semuanya bisa dilakukan,” berkata Abu Nawas dengan ucapan yang tidak tertahan mengalir begitu saja mengikuti irama ucapan yang keluar dari mulut sang Raja Harun Al Rasyid.
Raja sangat terperangah mendengar ucapan orang yang terkenal akan kecerdikkan akalnya Abu Nawas, dia sangat yakin ucapan dan jawaban yang keluar dari mulut orang ini akan menjadi kenyataan.
“Baiklah kalau begitu semua rancangan untuk membangun istanaku di awang-awang aku serahkan sepenuhnya kepadamu,” sang Raja memberikan emban tugas kepada Abu Nawas orang yang sangat cerdik di negerinya.
Abu Nawas sangat menyesal dengan pertanyaan menjebak dari sang Raja tentang sebuah kemungkinan dalam mewujudkan sebuah angan-angan untuk membuat istana di atas langit atau awang-awang.
Namun semua pertanyaan dan jawaban telah terucap terlontar dari bibirnya yang memang tidak bertulang, ibarat nasi telah menjadi bubur dia tidak bisa lagi mengelak atau menarik lagi ucapan tersebut.
Dia kini hanya melamun memikirkan cara untuk membuat istana. Jangankan untuk sebuah istana, membuat rumah gubuk kecil pun adalah sesuatu tindakkan yang amat mustahil sekali angannya terus berbicara dalam hati.
Telah beberapa hari ini Abu Nawas hanya terpaku dengan pemikiran seriusnya mengenai rancangan cara untuk membuat sebuah istana di awang-awang.
Pemikirannya terpusat pada satu titik cara yang menurutnya tidak mungkin akan terlaksana, satu cara dengan cara lainnya dia kait-kaitkan.
Dan yang terakhir dia memikirkan khayalan waktu masih kecil tentang istana di atas angin yang dihuni para dewa-dewi yang tinggal di negeri langit ketujuh dalam dongeng anak-anak yang didengarnya tatkala masih kecil dahulu.
Sampai teringat ketika dia bersama teman-teman kecilnya bermain-main dan diantaranya main layang-layang yang sungguh mengasyikkan saat-saat itu.
“Baiklah aku diburu oleh waktu yang seakan-akan mengejarku dengan tidak pernah berhenti,” bisiknya dalam hatinya.
Lalu sang Abu Nawas pun mengumpulkan beberapa kawan-kawannya untuk diajak bekerja membuat racangan layang-layang atau raksasa yang begitu super besar dengan bentuk persegi empat.
Dan pekerjaan yang melibat banyak orang tersebut akhirnya rampung juga, maka untuk selanjutnya dia pun melukis sebuah istana yang sangat indah lengkap dengan seluruh ornamen-ornamen sebuah istana yang megah.
“Sempurna!” bisiknya dalam hati, lalu dia pun membawa layang-layang raksasa tersebut bersama beberapa orang kepercayaannya kesebuah tempat rahasia untuk diterbangkan.
Dan pada hari berikutnya layang-layang raksasa tersebut segera saja diterbangkan, seluruh negeri dibuat gempar melihat sebuah istana mengapung di angkasa raya.
Abu Nawas sangat berterima kasih kepada semua kawan-kawan yang telah membantu terbuatnya layang-layang raksasa yang bergambar istana megah tersebut, hatinya kini telah tenang dan sangat puas sekali.
Kabar pun segera diterima sang Baginda dengan sangat cepat, tentu saja Raja sangat senang mendengar kabar tersebut, “tidak salah Abu Nawas adalah orang yang sangat cerdik dan pandai,” katanya.
Hari itu juga Baginda bergegas menemui sang Abu Nawas bersama beberapa pengawalnya dan sampailah di rumah orang hebat tersebut dengan senyuman puasnya mengembang dibibir sang Raja tatkala bertemu dengan empunya Tuan rumah.
“Baginda Rajaku yang mulia, istana megah yang paduka pesan telah berdiri di awang-awang,” berkata Abu Nawas.
“Aku percaya kepadamu bahwa engkau memang sanggup membuat istana yang menurut seluruh ahli bangunan-bangunanku tidak mungkin bahkan mustahil,” Raja sangat bangga kepada Abu Nawas.
“Lalu bagaimanakah caranya aku pergi kesana?” paduka bertanya kembali.
“Tentu saja dengan sebuah tambang paduka Raja,” menjawab Abu Nawas.
“Baiklah kalau begitu siapkan sekarang juga tambangnya aku sudah tidak sabar ingin melihat-lihat istanaku,” perintahnya kepada Abu Nawas.
“Dengan sangat menyesal pula Tuanku Raja, hamba kemarin lupa memasang tambangnya, sehingga sampai sekarang pun seorang kawan hamba yang bekerja belum juga turun ke bumi,” kata Abu Nawas.
“Lantas engkau turun ke bumi dengan bantuan apa?” tanya Baginda.
“Hamba memakai sayap, Baginda,” sahut Abu Nawas dengan mendongakkan kepalanya dengan bangga sekali.
“Oh, begitu! buatkanlah aku sayap, aku akan terbang kesana,” Baginda mulai tidak sabar, terdengar dari nada bicaranya.
“Sayap hanya dapat digunakan atau dibuat dalam mimpi semata,” sang Abu Nawas menjelaskan kepada sang Raja.
“Berarti engkau telah menganggap aku sebagai orang gila saja, ya!” mata sang Baginda Raja seperti mau copot, melotot penuh amarah kepada Abu Nawas.
“Ya kurang lebih mungkin seperti itulah kenyataannya,” menjawab dengan segera sang Abu Nawas.
“Apa maksud jawabanmu dengan mimpi semata itu?” tanya Baginda Raja sambil membentak keras semakin emosi saja.
“Istana di awang-awang adalah hal yang sungguh mustahil dan hanya dapat dibuat atau dibangun dalam mimpi semata sebagai khayalan dari sebuah angan-angan.”
“Namun Tuanku Raja tetap saja menyuruh hamba untuk membangunnya, padahal hamba juga tahu Baginda Raja adalah orang bijak yang sangat pandai dan pintar pengetahuannya dalam cara berpikir. Tetapi sebuah istana megah di awang-awang mustahil terlaksana,” Abu Nawas memberikan penjelesan sambil sedikit menyanjung sang Baginda Raja.
Raja Harun Al Rasyid tidak marah sedikit pun selagi mendengar penjelasan sang Abu Nawas demikian, dia pun kini maklum dengan semua yang diinginkannya diluar batas kemampuan akal seseorang manusia biasa.
Permintaannya yang sungguh-sungguh sangat gila kepada Abu Nawas adalah permintaan yang tidak masuk diakal atau gila, lantas saja sang Baginda Raja bertanya kembali kepada Abu Nawas sambil tertawa.
“Sebenarnya aku yang gila atau memang engkau yang sudah gila, hai Abu Nawas?” tanya sang Raja sambil tertawa ngakak.
“Memang kita berdua sudah menjadi gila Tuanku Raja,” jawab Abu Nawas tanpa ragu sama sekali kepada sang Raja.
Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit tetapi janganlah cita-cita tinggi itu diluar hal yang sangat mustahil menjadi kenyataan.
Berusaha dan belajarlah dengan giat, niscaya hal mustahil pun akan menjadi sesuatu kenyataan yang ada dalam menggapai sebuah cita-cita yang mulia dan benar yang engkau inginkan.