Kisah Shalat dan Menjadi Muslim

Sejak kecil aku sudah mengenal putra pamanku, Muhammad. Aku merasa lebih dekat dengan beliau dibanding dengan ayahku sendiri, Abu Thalib. Karena keadaan keuangan ayahku tidak terlalu bagus, aku pun tinggal dengan sepupuku itu. Istri putra pamanku itu, Khadijah, adalah perempuan yang amat kaya. Karenanya, sepupuku itu pun sangat membantuku. Di rumah mereka aku sama sekali tidak merasa menjadi orang asing. Aku biasa bermain dengan anak-anak mereka sepanjang waktu. Kami semua bersenang-senang.

Suatu hari di salah satu ruang di rumah kami, sepupuku dan istrinya, Khadijah, melakukan sesuatu. Sepupuku itu berdiri di depan. Beliau terus mengucapkan, “Allahu Akbar,” kemudian istrinya mulai menirukan apa yang beliau lakukan. Aku tak mengerti apa yang tengah mereka lakukan. Akhirnya, mereka duduk dan memalingkan kepala ke kanan terlebih dulu, kemudian ke kiri. Lalu, akhirnya mereka berdiri. Aku masuk ke ruang itu dan bertanya apa yang mereka lakukan. Sepupuku, seperti biasa, tersenyum.

Beliau berkata, “Aku akan menjelaskan kepadamu apa yang kami lakukan. Tapi, kau harus terlebih dulu berjanji ini adalah rahasia kita.”

Walau sangat dekat dengan mereka, belum pernah sebelumnya aku melihat apa yang aku saksikan hari itu. Aku segera melakukan apa yang beliau minta.

“Tentu,” kataku. “Aku tidak akan mengatakan kepada siapa pun.”

Setelah itu, beliau mendudukkanku di hadapan beliau dan mulai berbicara dari lubuk hati yang paling dalam. “Begini, Ali,” beliau berkata. “Kau anak yang cerdas. Aku yakin kau akan memahami apa yang akan kukatakan kepadamu. Allah yang sudah menciptakan kita semua sudah mengirimku sebagai nabi, dan apa yang baru saja kausaksikan adalah ‘shalat’, satu ibadah khusus yang kita lakukan untuk mengingat-Nya. Mulai sekarang, Allah akan memberitahukan segala perintah dan larangan-Nya kepada manusia melalui aku.”

Setelah itu, beliau menjelaskan bagaimana hal itu terjadi, “Malaikat Allah, Jibril, menampakkan diri di hadapanku dan menyampaikan ayat-ayat pertama kepadaku. Jibril memintaku menyerukan kabar gembira ini kepada semua orang di Mekkah yang kurasa akan meninggalkan berhala-berhala itu dan beriman kepada Allah. Agama baru yang aku bawa ini bernama Islam. Islam bukan hanya nama agama yang kubawa, tapi juga nama agama yang sudah dibawa para nabi lain. Pikirkan tentang hal itu sekarang. Apakah kau juga ingin masuk Islam?”

Ketika itu aku baru berumur sepuluh tahun, jadi aku hanya mendengarkan dengan takjub. Beliau memberitahukan sesuatu yang baru kepadaku. Kalau itu benar, sejumlah orang Mekkah yang disebut Hanif mengatakan hal yang sama, yaitu mereka beriman kepada agama Nabi Ibrahim as. Namun, mereka tinggal jauh dari masyarakat. Aku yang masih anak-anak sangat bingung dengan apa yang kudengar itu.

Apa yang baru saja disampaikan sepupuku itu harus kurenungkan. Karena itu, aku pun berkata, “Beri aku waktu. Biarkan aku berbicara dulu dengan ayahku. Kalau dia mengizinkan, aku akan menjadi Muslim.”

Mereka mengatakan kepadaku pembicaraan ini harus tetap dirahasiakan. Mereka mengatakan kepadaku agar tak memberitahu siapa pun bahwa aku telah melihat mereka beribadah. Ketika itu, Allah belum menghendaki mereka mengungkapkan hal ini kepada orang-orang.